Jumat, 07 Desember 2018

MAKALAH STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA "MODEL KONSIDERASI"


MAKALAH
MODEL KONSIDERASI
Dibuat untuk memenuhi tugas Strategi Belajar Mengajar Fisika
 

Disusun oleh :
Kelompok 9 :
Alexander Yuda Abimantara      (A1C317029)
Ayu Meilinda                                 (A1C317025)
Melisa Murzanita                          (A1C317037)

Dosen Pengampu :
Dwi Agus Kurniawan, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah model konsideraasi ini tepat pada waktunya. Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas strategi belajar mengajar fisika.
Tidak sedikit kendala yang kami hadapi dalam menyelasaikan makalah ini, namun dengan motivasi dan dorongan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, kami mungucap terimakasih kepada:
1.      Bapak Dwi Agus Kurniawan , selaku dosen pengampu mata kuliah strategi belajar mengajar fisika;
2.      Teman-teman yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang penulis buat tentunya masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mohon maaf dan mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terkhususnya dalam merancang penelitian.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai setiap urusan kita. Amin



Jambi, 2 November 2018


Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDUHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Model Konsiderasi........................................................... 3
2.1.2 Tujuan Model Konsiderasi................................................................. 6
2.1.3 Langkah-langkah Pembelajaran Model Konsiderasi.........................11
2.1.4 Unsur-unsur Model Pembelajaran Konsiderasi……………………..14
2.1.5 Asumsi Mengenai Model Konsiderasi............................................... 16
2.1.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Konsiderasi................................ 22
2.1.7 Penerapan Model Konsiderasi........................................................... 23
2.2 Kajian Kritis.......................................................................................... 26
2.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran...................................................... 30


BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 40
3.2 Saran..................................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 42



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Melihat permasalah kondisi Indonesia dewasa ini, masalah uang, kedudukan, pangkat, kekuasaan selalu didewakan dan dipentingkan sehingga banyak terjadi pergeseran nilai yang tumbuh di masyarakat seperti perubahan nilai-nilai sosial, ekonomi dan kekuasaan. permasalahan tentang pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat tersebut dapat diatasi dengan menelaah berbagai kemungkinan pemecahan masalah, salah satunya adalah melalui pendidikan.
            Sesuai dengan tujuan pendidikan (UU No 20 Tahun 2003) yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehubungan dengan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, berkualitas, berkarakter dan berbudaya.
            Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi. pembentukan karakter sebagai upaya meningkatkan perilaku siswa dilaksanakan secara berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, dan acting (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 31). Tetapi yang terjadi sekarang adalah pola pendidikan yang masih berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan kurang memperhatikan pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik. mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pada prakteknya lebih menekankan pada aspek kognitif tingkat rendah (hanya sekedar tahu saja). Selain itu, sistem pendidikan yang terfokus pada aspek kognitif bersifat abstrak, serta diikuti dengan proses belajar siswa (Wijayanti, 2013 : 73).
            Bukan hanya sekedar menambah pemahaman, pengetahuan ataupun wawasan. Dengan adanya pendidikan ini juga diharapkan mampu membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Karena ruang lingkup peserta didik tidak hanya di sekolah akan tetapi bagaimana kedepannya mereka akan terjun langsung ke masyarakat. Perilaku, tindakan, tingkah laku serta moralitas perlu di bentuk dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal  ini bertujuan agar peserta didik dapat menjalin hubungan atau interaksi dengan orang lain secara baik. Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang tepat. 
Kemerosotan nilai atau moral semakin kuat kita rasakan dari tahun ke tahun. Tidak jarang sering kali kita mendengar berita tak mengenakkan yang mencoreng pendidikan nasional. Kita ambil contoh berita yang kini sedang hangat diperbincangkan yaitu beberapa siswa SMP di salah satu daerah Indonesia berani melakukan tindakan kasar terhadap gurunya sendiri. Sungguh sangat menakjubkan bukan, bagaimana jadinya jika hal ini dibiarkan begitu saja. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pembentukan kepribadian atau karakter peserta didik perlu ditekankan lebih baik lagi melalui model pembelajaran yang efektif. Adapun salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model konsiderasi.

1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat mengetahui pengertian dari model konsiderasi
1.3.2 Dapat mengetahui tujuan model konsiderasi
1.3.3 Dapat mengetahui langkah-langkah pembelajaran model konsiderasi
1.3.4 Dapat mengetahui asumsi mengenai model konsiderasi
1.3.5 Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan model konsiderasi
1.3.6 Dapat mengetahui penerapan model konsideransi




BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Model Konsiderasi
According to Guidance (2004 : 6), modelling is a powerful strategy that can be used across all subjects to help pupils to learn and to develop confidence in a new skill or procedure. This unit sets out the principles of this strategy and provides guidance on how to introduce modelling into lessons and make it effective.
Terjemahan :
Menurut Guidance (2004 : 6), pemodelan adalah strategi yang kuat yang dapat digunakan di semua mata pelajaran untuk membantu siswa belajar dan mengembangkan kepercayaan pada keterampilan atau prosedur baru. Unit ini menetapkan prinsip-prinsip strategi ini dan memberikan panduan tentang cara memperkenalkan pemodelan ke dalam pelajaran dan membuatnya efektif.

Menurut Prianggita (2016 : 73), model konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paul seorang Humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya sendiri.Kebutuhan yang fundamnetal pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan saling menerima dengan penuh cinta kasih dan sayang.Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain sehingga mereka dapat bergaul, bekerjasama, hidup secara harmonis dengan orang lain, dan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
            Menurut Soenarko dan Mujiwati (2015 : 36), pembelajaran konsiderasi yang dikembangkan McPhail (dalam Sanjaya, 2007), menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan dengan pengem-bangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.Oleh sebab itu model konsiderasi menekankan pada pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa perilaku moral bersifat “self reinforcing”, artinya memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian itu pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat (Hersh, 1980 dalam Sutarno, 1991:27). Sebagaimana diungkapkan Sutarno (1991:24) yang mengutip pandangan Nasution (1989), bahwa model ini didasarkan pada kepercayaan bahwa : (1) Hidup untuk kepentigan orang lain merupakan pengalaman yang membebas-kan (yakni dari egoisme), (2) Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang lain kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya. Kebutuhan yang fundamental pada manusia ialah bergaul secara harmo-nis dengan sesama manusia, saling memberi dan menerima cinta kasih, “to love and to be loved”. Penggunaan model pembelajaran konsiderasi, yang lebih mengutamakan kepedulian terhadap orang lain mengindahkan perasaan orang lain dan tepo saliro atau dengan kata lain mengutamakan empati.
            Menurut Salim (2010 : 51), Model ini berupaya membebaskan individu dari sifat destruktif yang mungkin tersamar dalam bentuk kecintaan pada diri sendiri (suka mementingkan diri sendiri atau kelompoknya sendiri tanpa mau tahu bahwa diluar juga ada kelompok lain). Sehingga tercipta pribadi yang memiliki kepedulian atau perhatian pada orang lain atas dasar cinta kasih dan saling menghormati. Model ini didasarkan atas hasil McPhail yang dilakukan terhadap 800 siswa pria dan wanita yang berusia 13 - 18 tahun tentang perlakuan baik dan perlakuan tidak baik yang dilakukan orang dewasa terhadap dirinya. Dan riset yang dilakukannya, McPhail menginterpretasikan bahwa kelakuan yang baik adalah kelakuan yang memperlihatkan kepedulian terhadap kebutuhan, perasaan dan perhatian orang lain. McPhail berpendapat bahwa sekolah terlalu membebani siswa dengan penumpukan dan pemanipulasian informasi serta terlalu sedikit memberi perhatian pada kemampuan memecahkan persoalan sekitar identitas pribadi dan hubungan sosial. McPhail menyatakan bahwa siswa belajar lebih dari apa yang diajarkan gurunya. Belajar dari contoh-contoh adalah kunci bagi perkembangan individu secara alamiah. Contoh adalah suatu bentuk pendidikan. Tingkat berpikir moral yang lebih tinggi - maupun dalam perilaku moral - perlu dimodelkan dalam situasi kehidupan nyata.
            According to Nathan and Robinson (2001 : 78-79), In contrast to Clark, Kozma defines learning as an active, constructive process whereby the learner strategically manages available cognitive resources to create new knowledge by extracting information from the environment and integrating it with information already stored in memory. Cognitive resources are distributed between a learners internal knowledge base and the external environment (media, other persons, etc.). Within this framework, the learner typically builds his or her own knowledge and skill set by participating within a learning environment.
            As one considers the pedagogical implications from a constructivists view of learning as compared to that advanced by Clark (1983, 1994a, 1994b), a shift occurs from the delivery of information to the creation of enabling supports for learners. Although Kozma contends that knowledge is constructed through the reciprocal interaction of the learner and the environment, it is ultimately the learner who must actively and effectively modulate the resources provided within the environment. Put another way, the environment (teacher, media, self, etc.) can create the conditions and provide the supports that enable the learning of the student, but the student, rather than the instructor, fills the executive role and utilizes these enabling conditions. Thus, this view locates learning agency with the learner. Just as Clarks view of knowledge leads him to ask about experimental controls for separate effects of media and method, Kozmas view of knowledge allows him to challenge the traditional distinction made between media and method and ask alternative research questions.
Terjemahan :
                Berbeda dengan Clark, Kozma mendefinisikan pembelajaran sebagai proses yang aktif dan konstruktif di mana pembelajar secara strategis mengelola sumber daya kognitif yang tersedia untuk menciptakan pengetahuan baru dengan mengekstraksi informasi dari lingkungan dan mengintegrasikannya dengan informasi yang sudah tersimpan dalam memori. Sumber daya kognitif didistribusikan antara basis pengetahuan internal peserta didik dan lingkungan eksternal (media, orang lain, dll.). Dalam kerangka ini, pembelajar biasanya membangun pengetahuan dan keterampilannya sendiri dengan berpartisipasi dalam lingkungan belajar.
            Ketika seseorang mempertimbangkan implikasi pedagogis dari pandangan konstruktivis tentang pembelajaran dibandingkan dengan yang dikemukakan oleh Clark (1983, 1994a, 1994b), pergeseran terjadi dari penyampaian informasi ke penciptaan dukungan yang memungkinkan bagi peserta didik. Meskipun Kozma berpendapat bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi timbal balik dari peserta didik dan lingkungan, pada akhirnya pelajar yang harus secara aktif dan efektif memodulasi sumber daya yang disediakan dalam lingkungan. Dengan kata lain, lingkungan (guru, media, diri, dll.) Dapat menciptakan kondisi dan menyediakanmendukung yang memungkinkan pembelajaran siswa, tetapi siswa, daripada instruktur, mengisi peran eksekutif dan memanfaatkan kondisi yang memungkinkan ini. Dengan demikian, pandangan ini menempatkan agen pembelajaran dengan pembelajar. Sama seperti pandangan Clarks tentang pengetahuan, dia akan bertanya tentang kontrol eksperimental untuk efek media dan metode yang terpisah, pandangan Kozmas tentang pengetahuan memungkinkan dia untuk menantang perbedaan tradisional yang dibuat antara media dan metode dan mengajukan pertanyaan penelitian alternatif.
2.1.2 Tujuan Model Konsiderasi
Salah satu alternatif yang diduga dapat membantu dalam meningkatkan keterampilan sosial ialah dengan model konsiderasi, yakni sebuah model yang menekankan moralitas, yaitu hidup bersama dalam sebuah keharmonisan dengan sesama.Model ini dicetuskan oleh seorang hummanis bernama Paul, Mc Phails. Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain sehingga manusia dapat hidup berdampingan dengan damai dan dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat ketika peserta didik menjalani kehidupan nyata di lingkungannya. Tujuan model konsiderasi ialah membantu membentuk perilaku siswa siswa menjadi matang, melaksanakan hubungan-hubungan sambil mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Hasil penelitian pengaruh model konsiderasi ini dapat menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan keterampilan sosial anak dengan hambatan emosi dan prilaku (Yulida, 2017 : 16).

Model konsiderasi menekankan pada pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa perilaku moral bersifat “self reinforcing”, artinya memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian itu pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat (Hersh, 1980 dalam Sutarno, 1991:27). Sebagaimana diungkapkan Sutarno (1991:24) yang mengutip pandangan Nasution (1989), bahwa model ini didasarkan pada kepercayaan bahwa : (1) Hidup untuk kepentingan orang lain merupakan pengalaman yang membebas-kan (yakni dari egoisme), (2) Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang lain kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya. Kebutuhan yang fundamental pada manusia ialah bergaul secara harmo-nis dengan sesama manusia, saling memberi dan menerima cinta kasih, “to love and to be loved”. Penggunaan model pembelajaran konsiderasi, yang lebih mengutamakan kepedulian terhadap orang lain mengindahkan perasaan orang lain dan tepo saliro atau dengan kata lain mengutamakan empati (Soenarko, 2015 : 37).
Menurut Munawar (2010 : 339),Tujuan utama pendidikan adalah membentuk kepribadian manusia sesuai dengan hakikat kemanusiaan dan tuntutan zaman. Kepribadian merupakan masalah yang sangat penting dalam nation and character building. Kepribadian adalah sesuatu yang sangat kompleks.Teorikepribadian merupakan suatu ilmu yang membahas secara sistematis mengenai manusia secara individu.Ahli psikologi belum mempunyai kesepakatan tentang definisi kepribadian.Namun demikian ada beberapa definisi yang dapat dijadikan acuan. Lanyon (1997: 54) mengartikan kepribadian sebagai karakteristik kebiasaan individu yang signifikan dalam tingkah lakunya berhubungan dengan orang lain. Atkinson (1983: 417) menyatakan kepribadian sebagai pola perilaku dan cara berpikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Khas yang dimaksud adalah konsistensi perilaku bahwa orang cenderung untuk bertindak atau berpikir dengan cara tertentu.Dengan demikian kepribadian dapat diartikan sebagai ekspresi ke luar dari pengetahuan dan perasaan yang dialami seseorang secara subyektif.Kepribadian merujuk pada keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang digunakan seseorang dalam usaha adaptasinya.

Menurut Sanjaya (2006 : 277 – 279), Proses pembentukan sikap :
1.      Pola pembiasaan
            Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tikdak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari guru, misalnya perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut; dan perlahan-lahan anak akan mengalihkan sikap negative itu bukan hanya kepada gurunya itu sendiri, akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang di asuhnya. Kemudian, untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah pekerjaan mudah.
            Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui teorinya operant conditioning.Proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.

2.      Modeling
            Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilisai atau proses mencontoh.Salah karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan nya untuk melakukan peniruan (imitasi).Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau di demonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya.Proses peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
            Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan.Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus telaten terhadap tanaman; atau mengapa kita harus berpakaian bersih.Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sitem nilai.

Frankena (Adisusilo, 2012:128) dalam Setiawan (2013 : 58), mengemukakan bahwa tujuan pendidikan moral mencakup: (1) membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan tingkah-laku yang secara moral baik dan benar; (2) membantu peserta didik untuk dapat meningkatkan kemampuan refleksi secara otonom,…; (3) membantu peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral, norma-norma dalam menghadapi kehidupan konkretnya; (4) membantu peserta didik untuk mengadopsi prinsip-prinsip universal, nilai-nilai kehidupan sebagai pijakan untuk pertimbangan moral dalam menentukan suatu keputusan; dan (5) membantu peserta didik untuk mampu membuat keputusan yang benar, bermoral, dan bijaksana.

According to Hoon (2010 : 10), character (moral) education is “a complicated business” (Kupperman, 2005, p. 216). The complexities and perhaps the contradictions in ME syllabus and its implementation need to be acknowledged by all stakeholders. However, if the actual scenario in memorizing values in ME syllabus were to persist, ME will continue to be ineffective and meaningless to the students, a “just a waste of time”, and “I just studied Moral for the sake of doing well in the exam” (The Star Online 2007). Nonetheless, it should not warrant its exclusion in school as “schooling is character education” and it “is not only as a remedy to the crisis in society; its actual aim is to build responsible character and a society that is democratic and civil society” (Abdul Rahman Md Aroff, 2008, p.7).  Hishammuddin Hussien (2005), the then Minister of Education Malaysia commented that
            “student’s pursuit of academic excellence should include character and personality development . . . only teachers who have the skills, experience and dedication would be able to help produce good students who are not only knowledgeable but also able to shoulder the challenges faced by the country in the future (The New Straits Times, September 18, 2005)”.
Terjemahan :
            Menurut Hoon (2010 : 10), Pendidikan karakter (moral) adalah "bisnis yang rumit" (Kupperman, 2005, p. 216).Kerumitan dan mungkin kontradiksi dalam silabus dan implementasinyaperlu diakui oleh semua pemangku kepentingan. Namun, jikaskenario yang sebenarnya dinilai menghafal dalam silabus ME harus dipertahankan, ME akan terus menjadi tidak efektifdan tidak berarti bagi para siswa, "hanya buang-buang waktu", dan "Saya baru saja belajar Moral untukdemi melakukan dengan baik dalam ujian ”(The Star Online 2007). Meskipun demikian, seharusnya tidakmenjamin pengecualiannya di sekolah sebagai "sekolah adalah pendidikan karakter" dan itu "tidak hanyasebagai obat untuk krisis di masyarakat; tujuan sebenarnya adalah untuk membangun karakter yang bertanggung jawab dansebuah masyarakat yang demokratis dan masyarakat sipil ”(Abdul Rahman Md Aroff, 2008, p.7).Hishammuddin Hussien (2005), yang kemudian Menteri Pendidikan Malaysia berkomentarbahwa
            “Pengajaran akademis siswa harus mencakup karakter dan kepribadian
pembangunan. . . hanya guru yang memiliki keterampilan, pengalaman dan dedikasiakan dapat membantu menghasilkan siswa yang baik yang tidak hanya berpengetahuan tetapi jugajuga mampu memikul tantangan yang dihadapi oleh negara di masa depan (The NewStraits Times, 18 September 2005)”
.
2.1.3  Langkah-langkah Pembelajaran Model Konsiderasi
Menurut Kadir (2015 : 143), model konsiderasi dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral peserta didik menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaranseperti berikut:
a.       Menghadapkan peserta didik pada suatu masalah yang mengandung konflik,yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Ciptakan situasi”Seandainya peserta didik ada dalam masalah tersebut’’.
b.      Menyuruh peserta didik untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak,tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,misalnya perasaan,kebutuhan,dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh peserta didik untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d.      Mengajak peserta didik untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan peserta didik.
e.       Mendorong peserta didik untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan peserta didik. Dalam tahapan ini peserta didik diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f.       Mengajak peserta didik untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong peserta didik agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Menurut Rohman (2013 : 172), manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consider-ation model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperha-tikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain. Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi:  
1.      Menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi
2.      Meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain
3.      Siswa menuliskan responsnya masing-masing
4.      Siswa menganalisis respons siswa lain
5.      Mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya
6.      Meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri  

            Menurut Asriati (2012 : 115), melalui penggunaan model konsiderasi ini, siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidupsecara harmonis dengan orang lain. Langkah- langkah:(1).menghadapkansiswapada situasiyangmengandung konsiderasi,(2). meminta siswa menganalisis situasi berkenaan dengan perasaan, kebutuhandan kepentingan orang lain, (3). siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4). siswa menganalisis respons siswa lain, (5). mengajaksiswamelihatkonsekuesi daritiap tindakannya, (6).Memintasiswa untuk menentukan pilihannya.
Menurut Sanjaya (2006 : 280-281), Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini.
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa ada dalam masalah tersebut”.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya. Guru perlu menjaga agar siswa dapat menjelaskan argumennya secara tebuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain. Diupayakan agar perbedaan pendapat tumbuh dengan baik sesuai dengan titik pandang yang berbeda.
f.       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

2.2.4 Unsur-unsur Model Pembelajaran Konsiderasi
Menurut Joyce (2015 : 465-469) :
a.      Sintaks
Pada tahap pertama, penjelasam , mengenai keadaan yang membutuhkan bantuan. Tahap ini mencakup serangkaian pernyataan yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan perasaan, sebuah persetujuan mengenai focus umum dalam pembelajaran memang akan dilanjutkan, dan penetapan prosedur tatap muka. Tahap pertama ini biasanya berlangsung selama sesi pertama dalam membahas masalah tertentu. Namun, penyusunan dan penjelasan yang diberikan oleh guru mungkin saja dibutuhkan dalam beberapa waktu, meskipun hal ini sering kali memberikan kesimpulan yang berubah-ubah dalam menjabarkan kembali masalah dan kemajuan yang diperoleh. Secara alamiah, komentar-komentar yang sudah tersusun dan terjabarkan ini akan berbeda dengan masalah yang dihadapi siswa. Misalkan saja, negosiasi kontrak akademik akan sangat berbeda dibandingkan menghadapi situasi-situasi problematic yang berhubungan dengan perilaku.
Pada tahap kedua, melalui penerimaan guru dan kejelasan masalah, siswa didorong untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif serta mengatakan dan menjelaskan masalah yang ada.
Pada tahap ketiga, secara bertahap dan perlahan-lahan, siswa mulai mengembangkan wawasan yang dimilikinya ; siswa merasakan ada makna baru dari pengalaman pribadinya, melihat adanya sebuah hubungan baru antar sebab dan akibat, serta memahami makna dibalik tingkah laku yang di rasakanya. Pada kebanyakan situasi siswa diminta untuk menjelaskan masalah dan mengembangkan wawasan baru mereka mengenai perasaannya secara bergantian. Kedua aktivitas tersebut sama-sama dibutuhkan untuk mencapai kemajuan. Mendiskusikan masalah tanpa adanya penjelasan mengenai   perasaan hanya menunjukkan bahwa siswa tersebut dijauhi.
Pada tahap keempat, konsentrasi siswa diarahkan untuk perencanaan dan pembuatan keputusan dengan mengacu pada masalah yang ada. Peran guru pada tahap ini adalah menjelaskan dan membeberkan beberapa alternative.
Dalam tahap kelima, siswa melaporkan tindakan yang dilakunkannya, mengembangkan wawasan, serta merencanakan tindakan yang lebih positif, terpadu, dan menunjukkan kemajuan.
Struktur pengajaran yang disajikan disini dapat dilangsungkan dalam satu sesi, atau bahkan dalam beberapa rangkaian. Untuk kasus terakhir, tahap pertama dan kedua dapat terjadi dalam tahap-tahap awal diskusi, dilanjutkan dengan tahap ketiga dan keempat, dan tahap kelima pada akhir wawancara. Atau jika ada tatap muka lain dengan siswa yang kebetulan memiliki masalah mendadak, tahap pertama hingga keempat bisa dilangsungkan dalam satu pertemuan, dengan meminta mereka menjelaskan perilaku dan wawasannya secara singkat. Disisi lain, sesi yang melibatkan negosiasi kontrak akademik dipertahankan selama beberapa waktu tertentu, dan konteks setiap pertemuan/tatap muka pada umumnya mencakup beberapa perencanaan dan pembuatan , walaupun ada beberapa sesi yang sepenuhnya digunakan untuk membeberkan sebuah masalah yang mungkin saja terjadi. Hal yang sangat penting dalam hal ini adalah pemahaman siswa  dirinya memiliki tanggung jawab pada dampak/pengaruh yang akan mereka rasakan dari pada tak berdaya mengatasi masalah-masalah yang datang dari luar.
b.      Sistem Sosial
Sistem sosial dalam strategi tak terarah mengharuskan guru berperan sebagai fasilitator atau reflector. Namun, hal yang paling penting untuk ditekankan adalah bahwa siswa bertanggung jawab pada pengelolaan proses interaksi (control); adanya pembagian kewenangan antara siswa dan guru. Norma-norma dalam konteks ini menyangkut ekspresi perasaan secara bebas dan kemandirian pikiran serta perilaku. Reward, untuk perilaku atau hasil tertentu dan utamanya hukuman tidak diterapkan dalam strategi ini. Rewards dalam wawancara tidak terarah (nondirective interview) lebih subtil dan bersifat intrinsic penerimaan, pemahaman, dan empati dari guru. Pengetahuan mengenai diri sendiri dan reward psikologis yang diperoleh dari kepercayaan diri dikembangkan sendiri oleh siswa.
c.       Prinsip-prinsip Reaksi
Tugas-tugas guru didasarkan pada upaya menggiring siswa pada ranah penelitian tentang pengaruh. Guru sebisa mungkin menjangkau siswa, berempati pada kepribadian dan masalah yang dihadapi dan merespons dengan berbagai cara untuk membantu siswa menjauhkan masalah dan perasaannya, bertanggung  jawab pada tindakan mereka, dan merencanakan sasaran-sasaran serta metode-metode dalam mencapai karakteristik siswa.
d.      Sistem Pendukung
Sistem pendukung dalam strategi ini berbeda menurut fungsi wawancara. Jika sebuah sesi wawancara adalah untuk menegosiasikan  kontrak akademik, maka hal-hal yang diperlukan dalam pembelajaran terarah-diri (self-directed learning) harus tersedia dan sesuai. Jika wawancara mencakup proses konseling menyangkut masalah-masalah perilaku, harus ada sumber-sumber yang dapat membantu guru melakukan hal semacam ini. Dalam kasus tersebut, situasi one-to-one mensyaratkan susunan ruang yang memudahkan siswa untuk berpindah diseluruh penjuru kelas dan untuk melakukan aktivitas yang berbeda serta menyediakan banyak waktu dan tidak terburu-buru dalam membeberkan sebuah masalah dengan cukup mendetail. Untuk wilayah kurikulum akademik, semisal membaca, menulis, ilmu kesusastraan, dan ilmu sosial membutuhkan deretan materi yang cukup memadai.

2.3.5 Asumsi Mengenai Model Konsiderasi
Menurut Agustianingsih (2017 : 132), model pembelajaran konsiderasi sesuai dengan teori belajar humanistik. Menurut Carl Rogers aplikasi teori humanistik terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Teori belajar humanistik lebih menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.Itu berarti, peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa dan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.

According to Djuwita (2001) inArmadani (2017  : 1586),suggested the assumptions underlying the model considerations, namely: (1) moral behavior is strengthening (self-reinforcing), (2) the moral education should be directed to the personality as a whole (the total personality), (3) students appreciate the adults who made himself a "role model concern" (consideration), (4) students open to learning, but hated authoritarianism, domination, bondage, (5) a teenager is gradually evolving toward maturity in social relationships (the ability to care for and help others). On the basis of the above assumptions, the teacher must be a model in the class treats every student with respect, away from the authoritarian attitude. Teachers need to promote unity, mutual trust, mutual respect, and so forth.
Terjemahan :
               Menurut Djuwita (2001) dalam Armadani (2017: 1586), menyarankan asumsi yang mendasari model konsiderasi, yaitu: (1) perilaku moral memperkuat (memperkuat diri), (2) pendidikan moral harus diarahkan pada kepribadian sebagai keseluruhan (kepribadian total), (3) siswa menghargai orang dewasa yang menjadikan dirinya "perhatian panutan" (pertimbangan), (4) siswa terbuka untuk belajar, tetapi membenci otoritarianisme, dominasi, perbudakan, (5) remaja secara bertahap berkembang menuju kedewasaan dalam hubungan sosial (kemampuan untuk merawat dan membantu orang lain). Atas dasar asumsi di atas, guru harus menjadi model dalam kelas memperlakukan setiap siswa dengan hormat, jauh dari sikap otoriter. Guru perlu mempromosikan persatuan, saling percaya, saling menghormati, dan sebagainya.

According to Reading (2004 : 38) in  Wild and Pfannkuch’s (1999, p. 226) consideration of variation includes four components:
1.      noticing and acknowledging variation: recognizing the omnipresence of variation and the need to record this variation in discussions;
2.      measuring and modeling variation for the purposes of prediction, explanation, or control: creating summaries (numerical or graphical) to represent the variation in the data and using these summaries to represent the impact of variation;
3.      explaining and dealing with variation: looking for the causes of variation and considering the impact on design and sampling; and
4.      using investigative strategies in relation to variation: formal procedures for looking at the properties of the variation itself.
Terjemahan :
            Menurut Reading (2004: 38), Variasi konsiderasi Wild dan Pfannkuch (1999, p. 226) mencakup empat komponen:
1.      menyadari dan mengakui variasi: mengenali kemahahadiran variasi dan kebutuhan untuk merekam variasi ini dalam diskusi;
2.      Pengukuran dan pemodelan variasi untuk keperluan prediksi, penjelasan, atau kontrol: membuat ringkasan (numerik atau grafis) untuk merepresentasikan variasi dalam data dan menggunakan ringkasan ini untuk mewakili dampak variasi;
3.      menjelaskan dan menangani variasi: mencari penyebab variasi dan mempertimbangkan dampaknya terhadap desain dan pengambilan sampel; dan
4.      menggunakan strategi investigasi dalam kaitannya dengan variasi: prosedur formal untuk melihat properti dari variasi itu sendiri.
 
Menurut Rosidatun (2018 : 25), perlu dipahami bahwa sebenarnya telah ada konsep pendidikan karakter yang asli di Indonesia. Konsep pendidikan karakter yang asli di Indonesia itu dapat digali dari berbagai adat istiadat dan budaya di Indonesia, ajaran berbagai agama yang ada di Indonesia serta praktek kepemimpinan yang telah diterapkan di Indonesia. Di Indonesia, sebagai hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 14 Januari 2010 telah dicapai kesepakatan nasional pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dinyatakan sebagai berikut :
1.      Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
2.      Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses kebudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadai secara utuh.
3.      Pendidikan budaya dan karate bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua.
According to Schroeder (2010 : 137), in order to be information literate, a student must master the cognitive skills and abilities embodied in the ACRL information literacy standards. Cognition does not stand alone, however. An example of the role that dispositions and values play in supporting cognitive goals is afforded by an outcome closely related to information literacy critical thinking (CT).
Terjemahan :
Menurut Schroeder (2010 : 137), seiring perkembangan literasi informasi, seorang siswa harus menguasai keterampilan kognitif dan kemampuan yang diwujudkan dalam standar literasi informasi ACRL. Kognisi tidak berdiri sendiri. Contoh peran yang dimainkan oleh disposisi dan nilai-nilai dalam mendukung sasaran kognitif diberikan oleh hasil yang erat kaitannya dengan literasi informasi berpikir kritis (CT).
 
According to Shwartz(2014 :23) More abstractly, viewing learning as a process of “using experience to gain expertise,” supervised learning describes a scenario in which the “experience,” a training example, contains significant information (say, the spam/not-spam labels) that is missing in the unseen “test examples” to which the learned expertise is to be applied. In this setting, the acquired expertise is aimed to predict that missing information for the test data. In such cases, we can think of the environment as a teacher that “supervises” the learner by providing the extra information (labels). In unsupervised learning, however, there is no distinction between training and test data. The learner processes input data with the goal of coming up with some summary, or compressed version of that data.
Terjemahan :
            Menurut Shwartz (2014 : 23), Lebih abstrak, melihat pembelajaran sebagai proses "menggunakan pengalaman untuk mendapatkan keahlian," pembelajaran yang diawasi menggambarkan skenario di mana "pengalaman," contoh pelatihan, mengandung informasi yang signifikan (misalnya, spam / bukan-spam label) yang hilang dalam "contoh uji" yang tidak terlihat yang mana keahlian yang dipelajari harus diterapkan. Dalam pengaturan ini, keahlian yang diperoleh bertujuan untuk memprediksi bahwa informasi yang hilang untuk data uji. Dalam kasus seperti itu, kita dapat menganggap lingkungan sebagai guru yang "mengawasi" pembelajar dengan memberikan informasi tambahan (label). Namun, dalam pembelajaran yang tidak diawasi, tidak ada perbedaan antara pelatihan dan data uji. Pelajar memproses input data dengan tujuan menghasilkan beberapa ringkasan, atau versi terkompresi dari data tersebut.
Selama 35 tahun terakhir, sejumlah penelitian telah memaparkan efektifitas perilaku yang dapat merancang intruksi dan bantuan dengan ruang lingkup masalah-masalah pendidikan yang cukup luas, dari phobia terhadap mateti pelajaran semisal Matematika, penurunan keterampilan sosial, masalah perilaku, hingga kecemasan menghadapi ujian. Penelitian-penelitian itu juga menunjukkan bahwa beberapa prosedur ini bisa digunakan secara efektif dalm format kelompok dan oleh orang awam. Kami meyakini bahwa teori perilaku menawarkan deretan model yang bisa sangat bermanfaat bagi guru, perencanaan kurikulum, dan pembuat materi intruksional (Joyce, 2015 : 503).
According to Aspin (2007 : 2 – 3), in approaches to questions of values and values education as a key feature of life long learning, schools and other educating institutions are being seen as having an important role in assisting young people, adults, and the more mature members of the community to make sense of their world, make rational and informate choices about their owent lives, accept responsibility for their own actions and understand, and develope their personal and social responsibilities as a basis for a life in which they can exercise judgement and responsibility in matters such as those of personal and social relationships, morality and ethics consideration is also being given to the respective roles of parents, schools, and other institutions and agencies, in forming young people values and in helping them make sense of the values promoted in society by the media, members of the broader community and their peers.
Terjemahan :
            Menurut Aspin (2007 : 2 – 3), dalam pendekatan terhadap pertanyaan nilai dan nilai pendidikan sebagai fitur kunci dari pembelajaran seumur hidup, sekolah dan lembaga pendidikan lainnya dipandang memiliki peran penting dalam membantu orang muda, orang dewasa, dan anggota masyarakat yang lebih dewasa untuk memahami dunia mereka, membuat pilihan yang rasional dan menginformasikan tentang kehidupan berhutang mereka, menerima tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri dan memahami, dan mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial mereka sebagai dasar untuk kehidupan di mana mereka dapat melakukan penilaian dan tanggung jawab dalam hal-hal seperti pribadi dan hubungan sosial, moralitas dan pertimbangan etika juga diberikan kepada peran masing-masing orang tua, sekolah, dan lembaga dan lembaga lain, dalam membentuk nilai-nilai anak muda dan dalam membantu mereka memahami nilai-nilai yang dipromosikan di masyarakat oleh media, anggota dari komunitas yang lebih luas dan rekan-rekan mereka.
Pada paradigm baru, mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Untuk apa menyampaikan materi pelajaran kalau siswa tidak belajar? Untuk apa siswa menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya kalau ternyata materi yang dikuasai nya itu hanya ditumpuk di otak, tidak berdampak terhadap perubahan perilaku dan kemampuan siswa. Dengan demikian yang penting dalm mengajar adalah proses merubah perilaku (Sanjaya, 2017 : 13).
2.1.5  Kelebihan dan Kekurangan  Model Konsiderasi
Menurut Kadir (2015 : 6), kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran model konsiderasi :
1.      Kelebihan
a.       Dalam pelaksanaan pembelajaran sikap akan dapat membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
b.      Mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap.
c.       Menjadi saran pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
d.      Peserta didik akan lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, dan mana yang halal dan mana yang tidak halal.
e.       Peserta didik akan mengetahui hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga atau tidak berguan (sikap negative).
f.       Dengan pelaksanaannya strategi pembelajaran sikap akan memperkuat karakter bangsa Indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini.
g.      Dengan pelaksanaan pembelajaran sikap peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang di anggap baik atau tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

2.      Kekurangan
a.       Kurikulum yang berlaku selama ini cendrung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif) dimana anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan pembentukan sikap dan moral.
b.      Sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.

Menurut Joice & Weil (2003 : 325) dalam Himawan (2018 : 14), meskipun prinsip behavioris telah digunakan untuk merancang materi pembelajaran, seperti simulasi, yang telah digunakan oleh sejumlah besar peserta didik, kerangka acuan behavioris cenderung mengarah pada diskrit, konkrit, dan individual. Dua tanggapan yang serupa secara eksternal tidak harus dilanjutkan dari rangsangan asli yang sama (satu orang mungkin ramah secara lahiriah karena keramahan menarik orang sementara orang lain mungkin berperilaku serupa, namun untuk menghindari dijauhi atau diabaikan).
Sebaliknya, tidak ada orang yang akan merespon stimulus yang sama dengan cara yang persis sama. Akibatnya prosedur untuk mendorong perilaku baru melibatkan penetapan tujuan perilaku individual yang spesifik. Hal ini tidak berarti bahwa pelatihan kelompok tidak mungkin dilakukan. Hal ini berarti bahwa tujuan setiap peserta didik mungkin berbeda dan bahwa proses pelatihan perlu disesuaikan secara individual dalam hal konten.

2.1.6  Penerapan Model Pembelajaran Konsiderasi
Menurut Agustiningsih, dkk (2017:133), dalam menerapkan model pembelajaran konsiderasi, guru sebagai fasilitator sebelumnya telah membentuk kelompok diskusi secara random dengan tujuan agar siswa bisa menerima anggota kelompoknya tanpa pilih-pilih. Kemudian guru memberikan suatu kasus yang problematis kepada siswa untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. Dalam proses ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk saling berpendapat dan menentukan setiap keputusan yang akan diambil siswa untuk menyelesaikan masalah yang sedang didiskusikan. Guru tidak menuntut siswa untuk menjawab sesuai dengan keinginan guru, akan tetapi guru hanya memberikan arahan dan bimbingan kepada siswa dalam berdiskusi, serta merespon pertanyaan siswa jika siswa bertanya terkait tugas diskusi. Setelah itu guru mendengarkan siswa yang menyampaikan hasil diskusinya mengungkapkan bagaimana perasaannya dan solusinya jika berada dalam maslah tersebut.
Menurut Joice (2015 : 470), Model pengajaran tidak terarah bisa diterapkan untuk beberapa jenis situasi permasalahan, seperti masalah pribadi, sosial, dan akademik. Untuk kasus yang termasuk dalam permasalah pribadi, siswa menjelaskan perasaan mereka mengenai dirinya sendiri. Untuk masalah sosial, siswa mengungkapkan apa yang dirasakannya mengenai hubungannya dengan orang lain dan mencari tahu bagaimana perasaan dan penilaian terhadap diri sendiri tersebut dapat memengaruhi hubungan- hubungan ini. Untuk masalah akademik, siswa menjelaskan perasaannya mengenai ketertarikan dan kemampuannya terkait segala hal dalam dunia akademiknya. Dalam setiap kasus dan permasalahan tersebut, materi wawancara harus selalu bersifat pribadi dan tidak eksternal; ia berpusat pada perasaan setiap orang, pengalaman, wawancara dan solusi.
Untuk menggunakan model pengajaran tidak terarah secara efektif, seorang guru harus mau dan berkeinginan kuat untuk menerima dan menyadari bahwa siswa bisa mengerti dan menghadapi kehidupan mereka sendiri. Kepercayaan mengenai kapasitas siswa dalam mengarahkan diri mereka dikomunikasikan lewat sikap dan perilaku verbal guru. Guru janga berusaha menghakimi siswa. Peran yang demikian ini hanya akan membatasi kepercayaan diri dalam diri siswa. Guru juga tidak diperkenankan mendiagnosis masalah. Guru hanya berusaha untuk merasakan dunia siswa menurut apa yang dilihat dan dirasakannya.

According to Parr dan Timperley (2008 : 57), The key to better learning for students is better teaching (Darling-Hammond 2000). Effective teaching is underpinned by an evidence-informed and well-articulated knowledge about the content of what one is teaching, about how to teach and about one’s students. Effective practice is not something absolute but, rather, is achieved by knowledgeable, committed teachers who tailor and adapt their practices to the ongoing needs of their learners in order to achieve outcomes of a high standard across heterogeneous groups of students (Alton-Lee 2003). Knowledge of the learner involves identifying patterns of strengths and weaknesses; looking backward at what has been done, to assess the effectiveness of instruction in terms of rate and extent of progress, and looking forward to work out what to teach next (Timperley and Parr 2004). This knowledge comes from ongoing assessment to inform and guide instruction (Crooks 1993; Tunstall and Gipps 1996; Black and Wiliam 1998; Torrance and Prior 1998), allowing better or more accurate decisions to be made (Stoll et al. 2003). Closely analysed evidence about the learning of students allows deliberate adjustments to a classroom teaching programme in order to meet the needs of students better.
Terjemahan :
            Menurut Parr dan Timperley (2008 : 57),Kunci untuk belajar yang lebih baik bagi siswa adalah pengajaran yang lebih baik (Darling-Hammond, 2000). Pengajaran yang efektif didukung oleh pengetahuan yang diinformasikan bukti dan diartikulasikan dengan baik tentang isi dari apa yang diajarkan seseorang, tentang cara mengajar dan tentang siswa seseorang. Praktik yang efektif bukanlah sesuatu yang absolut tetapi, lebih tepatnya, dicapai oleh guru yang berpengetahuan dan berkomitmen yang menyesuaikan dan menyesuaikan praktik mereka dengan kebutuhan berkelanjutan dari pembelajar mereka untuk mencapai hasil dari standar yang tinggi di seluruh kelompok siswa heterogen (Alton-Lee 2003) . Pengetahuan tentang pembelajar melibatkan identifikasi pola kekuatan dan kelemahan; melihat ke belakang pada apa yang telah dilakukan, untuk menilai efektivitas instruksi dalam hal tingkat dan tingkat kemajuan, dan melihat ke depan untuk mencari tahu apa yang harus diajarkan selanjutnya (Timperley dan Parr 2004). Pengetahuan ini berasal dari penilaian berkelanjutan untuk menginformasikan dan membimbing instruksi (Crooks 1993; Tunstall dan Gipps 1996; Black dan Wiliam 1998; Torrance dan Prior 1998), memungkinkan keputusan yang lebih baik atau lebih akurat untuk dibuat (Stoll et al. 2003). Erat dianalisis bukti tentang pembelajaran siswa memungkinkan penyesuaian yang disengaja untuk program pengajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan siswa yang lebih baik.
According to Pascal (2009 : 13) , two alternative views of teaching emphasise, on the one hand, the teacher’s role in transmitting knowledge and providing correct solutions, and on the other, the teacher’s role as a facilitator of active learning by students who seek out solutions for themselves. Comparing teacher beliefs with classroom disciplinary climate, the analysis found that in Hungary, Italy, Korea, Poland and Slovenia, teachers with “constructivist” beliefs that regard students as active participants in the process of acquiring knowledge are more likely to report positive classroom disciplinary climate.
Terjemahan :
            Menurut Pascal (2009 : 13), Dua pandangan alternatif pengajaran menekankan, di satu sisi, peran guru dalam mentransmisikan pengetahuan dan memberikan solusi yang tepat, dan di sisi lain, peran guru sebagai fasilitator pembelajaran aktif oleh siswa yang mencari solusi untuk diri mereka sendiri. Membandingkan keyakinan guru dengan iklim disiplin kelas, analisis menemukan bahwa di Hungaria, Italia, Korea, Polandia dan Slovenia, guru dengan keyakinan "konstruktivis" yang menganggap siswa sebagai peserta aktif dalam proses memperoleh pengetahuan lebih mungkin untuk melaporkan iklim disiplin kelas yang positif. 

1.1         Kajian Kritis
Model Konsiderasi adalah model pembelajaran yang dikembangkan oleh Mc. Phail, dia menyatakan bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral adalah pembentukan kepribadian seseorang bukan untuk pengembangan intelektual. Model ini berupaya membebaskan individu dari sifat destruktif yang mungkin tersamar dalam bentuk kecintaan pada diri sendiri (suka mementingkan diri sendiri atau kelompoknya sendiri tanpa mau tahu bahwa diluar juga ada kelompok lain) Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Kebutuhan yang fundamnetal pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan saling menerima dengan penuh cinta kasih dan sayang. Oleh karena itu model ini ditekankan untuk membentuk kepribadian.
Tujuan dari model pembelajaran konsiderasi ini adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain dan tidak egois. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa perilaku moral bersifat “self reinforcing”, artinya memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian itu pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat.
Langkah-langkah dalam pembelajaran model konsiderasi ini adalah sebagai berikut :
a.       Menghadapkan peserta didik pada situasi yang mengandung konflik, misalnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Menyuruh peserta didik untuk menganalisis suatu konflik atau masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut.
c.       Menyuruh peserta didik untuk menulis atau memberi tanggapannya tentang permasalahan yang dihadapi.
d.      Mengajak peserta didik untuk menganalisis respons dari orang lain serta membuat kategori tentang respons orang lain mengenai permasalahan tersebut.
e.       Mendorong peserta didik untuk merumuskan konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan peserta didik.
f.       Mengajak peserta didik untuk melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang agar dapat menambah wawasan.
g.      Mendorong peserta didik agar merumuskan sendiri tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Sintaks pembelajaran mempuyai 5 tahap, yaitu :
1.      Pada tahap pertama, penjelasam , mengenai keadaan yang membutuhkan bantuan.
2.      Pada tahap kedua, siswa didorong untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif serta mengatakan dan menjelaskan masalah yang ada.
3.      Pada tahap ketiga, secara bertahap dan perlahan-lahan, siswa mulai mengembangkan wawasan yang dimilikinya.
4.      Pada tahap keempat, konsentrasi siswa diarahkan untuk perencanaan dan pembuatan keputusan dengan mengacu pada masalah yang ada.
5.      Pada tahap kelima, siswa melaporkan tindakan yang dilakunkannya.

Sistem sosial dalam strategi tak terarah mengharuskan guru berperan sebagai fasilitator atau reflector. Namun, hal yang paling penting untuk ditekankan adalah bahwa siswa bertanggung jawab pada pengelolaan proses interaksi (control); adanya pembagian kewenangan antara siswa dan guru.
Model konsiderasi mengansumsikan bahwa pembelajaran siswa lebih menekankan pada pendidikan serta perilaku moral, adanya sikap saling menghargai, dan terbuka kepada orang lain. Oleh sebab itu, guru berperan sebagai model dalam kelas sebagai panutan bagi para siswa.Tidak hanya itu, guru juga menfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa untuk mendampini siswa memperoleh tujuan pembelajaran.Guru juga harus terus memberikan motivasi serta kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
            Setiap model pembelajaran tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri begitu juga dengan model konsiderasi. Adapun kelebihan dari model konsiderasi antara lain akan terbentuknya watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, ikut mengembangkan potensi peserta didik terkhususnya dalam hal nilai dan sikap, menjadi sarana pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta dengan adanya model konsiderasi peserta didik dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sementara kekurangan dari model konsiderasi itu diantaranya, kurikulum yang berlaku selama ini cenderung hanya diarahkan untuk kemampuan kognitif sehingga peserta didik hanya ditujukan pada kemampuan menguasai materi pembelajaran.
            Dalam penerapannya, kita tahu bahwa dalam model konsiderasi guru berperan sebagai fasilitator yang sebelumnya telah membentuk kelompok diskusi secara random. Setelah itu guru akan memberikan sebuah kasus yang akan didiskusikan oleh masing-masing kelompok. Selanjutnya para siswa diberikan kebebasan untuk saling berpendapat dan memberikan keputusan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.Kewajiban seorang guru dalam situsi seperti ini adalah membimbing para siswa, memberikan arahan, serta merespon pertanyaan yang diajukan siswa terkait diskusi yang dilakukan. Kemudian guru akan mendengarkan hasil diskusi siswa dan menyampaikan solusi yang terbaik dalam memecahkan permasalahan tersebut.


RENCANA PELAKSANAAPEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan                  : SMA Negeri 2 Tebo
Mata Pelajaran                        : Fisika
Kelas / Semester                      : X/Ganjil
Peminatan                               : MIA
Materi Pokok                          : Gerak Lurus (GLB dan GLBB)
Alokasi Waktu                        : 1 x 3 JP

A.      Kompetensi Inti (KI)

KI 1  : Menghayati dan mengamalkan  ajaran agama yang dianutnya.
KI 2 : Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

B.       Kompetensi Dasar dan Indikator

1.1  Bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya
1.2  Menyadari kebesaran Tuhan yang mengatur karakteristik fenomena gerak.
2.1  Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti; cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan percobaan dan berdiskusi
2.2  Menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan
3.3  Menganalisis besaran-besaran fisis pada gerak lurus dengan kecepatan konstan dan gerak lurus dengan percepatan konstan

Indikator:
·     Mendeskripsikan gerak lurus beraturan dengan menggunakan grafik
·     Merumuskan perpindahan pada Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·     Menjelaskan karakteristik Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·     Menghitung besar perpindahan pada Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·     Menganalisis besar perpindahan pada Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·     Memberikan 2 contoh gerak lurus beraturan dalam kehidupan sehari-hari
·     Menjelaskan pengertian Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
·     Menggambarkan grafik hubungan antar besaran pada Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
·     Menganalisis persamaan-persamaan GLBB untuk menyelesaikan permasalahan dalam bentuk soal
·     Menerapkan GLBB dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan beberapa contoh

4.3 Menyajikan data dan grafik hasil percobaan untuk menyelidiki sifat gerak benda yang bergerak lurus dengankecepatan konstan dan gerak lurus dengan percepatan konstan
Indikator:

·     Mengolah dan menyajikan data percobaan GLB dan GLBB sesuai dengan langkah-langkah di LKS
·     Menganaliis gerak benda yang bergerak lurus dengan kecepatan konstan dan gerak lurus dengan percepatan konstan menggunakan grafik hasil percobaan

B.       Tujuan Pembelajaran

Setelah proses demonstrasi, kaji pustaka, eksperimen, diskusi kelompok, dan tanyajawab, peserta didikdapat:
§  Mendeskripsikan gerak lurus beraturan dengan menggunakan grafik
§  Merumuskan perpindahan pada gerak lurus beraturan (GLB)
§  Menjelaskan karakteristik gerak lurus beraturan (GLB)
§  Menghitung besar perpindahan pada gerak lurus beraturan
§  Menganalisis besar perpindahan pada gerak lurus beraturan
§  Memberikan 2 contoh gerak lurus beraturan dalam kehidupan sehari-hari
§  Menjelaskan pengertian Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
§  Menggambarkan grafik hubungan antar besaran pada Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
§  Menganalisis persamaan-persamaan GLBB untuk menyelesaikan permasalahan dalam bentuk soal

§  Menerapkan GLBB dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan beberapa contoh

C.      Materi Pembelajaran Fakta
§  Video perjalanan angkot dari terminal Hamid Rusdi ke terminal Gadang
§  Video mobil bergerak secara GLB
§  Video mobil bergerak secara GLBB
§  Simulasi gerak GLBB
§  Gerak lurus beraturan
§  Gerak lurus berubah beraturan

Prinsip
o  Besarnya kecepatan dan percepatan benda mempengaruhi jenis gerak benda Prosedur
o  Percobaan GLB
o  Percobaan GLBB

E.   Pendekatan dan Metode Pembelajaran


§  Pendekatan                 : Scientific

§  Metode Pembelajaran: Demonstrasi, kaji pustaka, eksperimen, diskusi kelompok, tanya jawab


F.       Media, Alat dan Sumber Belajar

·    Media:
-       Video tentang GLB dan GLBB
-       Simulsi GLBB
-        
·    Alat dan Bahan:
-       LKS GLB (Lampiran 1 Pertemuan 1)
-       Pewaktu ketik (ticker timer) dan pita, trolley bermotor dan lintasan, catu daya (power supply), penggaris, gunting, lem, dan pita perekat (cellotape)
-       LKS GLBB (Lampiran 1 Pertemuan 2)
-       Rel presisi 2 buah atau papan dan balok, penyambung rel 1 buah, kaki rel 2 buah, kereta dinamika 1 buah, balok bertingkat 1 buah, stopwatch 1 buah, tumpakan berpenjepit 1 buah, meja optik 1 buah, dan penggaris 1 buah
-       LKS penerapan GLBB (Lampiran 1 Pertemuan 3)


·    Sumber Belajar:
-       Kanginan, Marthen. 2013. Fisika untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
-       LKS Penjumlahan Vektor
-       Internet

G.   Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
A.      Langkah-Langkah Pembelajaran
1.
Pertemuan Ke-1 (3 x 45 Menit)
Kegiatan Pendahuluan (15 Menit)
Guru :
Orientasi
Melakukan pembukaan dengan salam pembuka, memanjatkan syukur kepada Tuhan YME dan berdoa  untuk  memulai pembelajaran
Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik  dalam mengawali kegiatan pembelajaran.
Aperpepsi
Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan dengan pengalaman peserta didik dengan materi/tema/kegiatan sebelumnya
Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran yang akan dilakukan.
Motivasi
Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari pelajaran yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila materi tema/projek ini kerjakan  dengan baik dan sungguh-sungguh ini dikuasai dengan baik, maka peserta didik diharapkan dapat menjelaskan tentang materi :

  1. Konsep GLB
  2. Karakteristik GLB
  3. Persamaan GLB
  4. Konsep GLBB
  5. Karakteristik GLBB
  6. Persamaan GLBB


Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan yang  berlangsung
Mengajukan pertanyaan
Pemberian Acuan
Memberitahukan  materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan saat itu.
Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan KKM pada pertemuan yang  berlangsung
Pembagian kelompok belajar
Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar  sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
Kegiatan Inti ( 105 Menit )
Sintak Model Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Stimulation
(stimullasi/
pemberian
rangsangan)
KEGIATAN LITERASI
Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan perhatian pada topik materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata dengan cara :
Melihat (tanpa atau dengan Alat)

Menayangkan gambar/foto/video yang relevan.
Mengamati
Lembar kerja materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
Pemberian contoh-contoh materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata untuk dapat dikembangkan peserta didik, dari media interaktif, dsb
Membaca.

Kegiatan literasi ini dilakukan di rumah dan di sekolah dengan membaca materi dari buku paket atau buku-buku penunjang lain, dari internet/materi yang berhubungan dengan Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
Menulis

Menulis resume dari hasil pengamatan dan bacaan terkait Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
Mendengar

Pemberian materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata oleh guru.
Menyimak

Penjelasan pengantar kegiatan secara garis besar/global tentang materi pelajaran mengenai materi :

  1. Konsep GLB
  2. Karakteristik GLB
  3. Persamaan GLB
  4. Konsep GLBB
  5. Karakteristik GLBB
  6. Persamaan GLBB

untuk melatih rasa syukur, kesungguhan dan kedisiplinan, ketelitian, mencari informasi.
Problem
statemen
(pertanyaan/
identifikasi
masalah)

CRITICAL THINKING (BERPIKIR KRITIK)
Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan gambar yang disajikan dan akan dijawab melalui kegiatan belajar, contohnya :
Mengajukan pertanyaan tentang materi :

  1. Konsep GLB
  2. Karakteristik GLB
  3. Persamaan GLB
  4. Konsep GLBB
  5. Karakteristik GLBB
  6. Persamaan GLBB
yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik) untuk mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.
Data
collection
(pengumpulan
data)
KEGIATAN LITERASI
Peserta didik mengumpulkan informasi yang relevan untuk menjawab pertanyan yang telah diidentifikasi melalui kegiatan:
Mengamati obyek/kejadian

Mengamati dengan seksama materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang sedang dipelajari dalam bentuk gambar/video/slide presentasi yang disajikan dan mencoba menginterprestasikannya.
Membaca sumber lain selain buku teks

Secara disiplin melakukan kegiatan literasi dengan mencari dan membaca berbagai referensi dari berbagai sumber guna menambah pengetahuan dan pemahaman tentang materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang sedang dipelajari.
Aktivitas

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang sedang dipelajari.
Wawancara/tanya jawab dengan nara sumber

Mengajukan pertanyaan berkaiatan dengan materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang telah disusun dalam daftar pertanyaan kepada guru.


COLLABORATION (KERJASAMA)
Peserta didik dibentuk dalam beberapa kelompok untuk:
Mendiskusikan

Peserta didik dan guru secara bersama-sama membahas contoh dalam buku paket mengenai materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
Mengumpulkan informasi

Mencatat semua informasi tentang materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang telah diperoleh pada buku catatan dengan tulisan yang rapi dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mempresentasikan ulang

Peserta didik mengkomunikasikan secara lisan atau mempresentasikan materi dengan rasa percaya diri Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata sesuai dengan pemahamannya.
Saling tukar informasi tentang materi :

Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelompok kemudian, dengan menggunakan metode ilmiah yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau pada lembar kerja yang disediakan dengan cermat untuk mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
Data
processing
(pengolahan
Data)
COLLABORATION (KERJASAMA) dan CRITICAL THINKING (BERPIKIR KRITIK)
Peserta didik dalam kelompoknya berdiskusi mengolah data hasil pengamatan dengan cara :
Berdiskusi tentang data dari Materi :

  1. Konsep GLB
  2. Karakteristik GLB
  3. Persamaan GLB
  4. Konsep GLBB
  5. Karakteristik GLBB
  6. Persamaan GLBB
Mengolah informasi dari materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang sudah dikumpulkan dari hasil kegiatan/pertemuan sebelumnya mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi yang sedang berlangsung dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan pada lembar kerja.
Peserta didik mengerjakan beberapa soal mengenai materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
Verification (pembuktian)
CRITICAL THINKING (BERPIKIR KRITIK)
Peserta didik mendiskusikan hasil pengamatannya dan memverifikasi hasil pengamatannya dengan data-data atau teori pada buku sumber melalui kegiatan :
Menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan untuk mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam membuktikan tentang materi :

  1. Konsep GLB
  2. Karakteristik GLB
  3. Persamaan GLB
  4. Konsep GLBB
  5. Karakteristik GLBB
  6. Persamaan GLBB
antara lain dengan : Peserta didik dan guru secara bersama-sama membahas jawaban soal-soal yang telah dikerjakan oleh peserta didik.
Generalization (menarik kesimpulan)
COMMUNICATION (BERKOMUNIKASI)
Peserta didik berdiskusi untuk menyimpulkan
Menyampaikan tanggapan  tentang materi GLB fberupa kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya untuk mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan sopan.


Catatan : Selama pembelajaran  konsep, karakteristik, dan persamaan baik GLB dan GLBB berlangsung, guru mengamati sikap siswa dalam pembelajaran yang meliputi sikap: nasionalisme,  disiplin, rasa percaya diri, berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli lingkungan
Kegiatan Penutup (15 Menit)
Peserta didik :
Mengagendakan pekerjaan rumah untuk materi pelajaran  Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang baru diselesaikan.
Mengagendakan materi atau tugas projek/produk/portofolio/unjuk kerja yang harus mempelajari pada pertemuan berikutnya di luar jam sekolah atau dirumah.
Guru :
Memeriksa pekerjaan siswa  yang selesai  langsung diperiksa untuk materi pelajaran  Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
Peserta didik yang  selesai mengerjakan tugas projek/produk/portofolio/unjuk kerja dengan benar diberi paraf serta diberi nomor urut peringkat,  untuk penilaian tugas
Memberikan penghargaan untuk materi pelajaran  Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata kepada kelompok yang memiliki kinerja dan kerjasama yang baik.



















BAB III
PENUTUP
a.    Kesimpulan
Dari kajian teori yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Model konsiderasi merupakan sebuah model yang menekankan moralitas, yaitu hidup bersama dalam sebuah keharmonisan dengan sesame. Model ini dicetuskan oleh seorang hummanis bernama Paul, Mc Phails.
2.      Tujuan dari model konsiderasi ialah membantu membentuk perilaku siswa siswa menjadi matang, melaksanakan hubungan-hubungan sambil mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
3.      Langkah- langkah pembelajaran model konsiderasi adalah (1).menghadapkansiswapada situasiyangmengandung konsiderasi; (2). meminta siswa menganalisis situasi berkenaan dengan perasaan, kebutuhandan kepentingan orang lain; (3). siswa menuliskan responsnya masing-masing; (4). siswa menganalisis respons siswa lain; (5). mengajaksiswamelihatkonsekuesi daritiap tindakannya; (6).Memintasiswa untuk menentukan pilihannya.
4.      Asumsi yang mendasari model konsiderasi, yaitu: (1) perilaku moral memperkuat (memperkuat diri), (2) pendidikan moral harus diarahkan pada kepribadian sebagai keseluruhan (kepribadian total), (3) siswa menghargai orang dewasa yang menjadikan dirinya "perhatian panutan" (pertimbangan), (4) siswa terbuka untuk belajar, tetapi membenci otoritarianisme, dominasi, perbudakan, (5) remaja secara bertahap berkembang menuju kedewasaan dalam hubungan sosial (kemampuan untuk merawat dan membantu orang lain).
5.      Kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran model konsiderasi :
Kelebihannya antara lain : dalam pelaksanaan pembelajaran sikap akan dapat membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap serta menjadi saran pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sementara Kekurangan model konsiderasi antara lain : kurikulum yang berlaku selama ini cendrung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif) dimana anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan pembentukan sikap dan moral serta sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
6.      Dalam menerapkan model pembelajaran konsiderasi, guru sebagai fasilitator sebelumnya telah membentuk kelompok diskusi secara random dengan tujuan agar siswa bisa menerima anggota kelompoknya tanpa pilih-pilih. Kemudian guru memberikan suatu kasus yang problematis kepada siswa untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan pertanyaan yang diberikan.

b.         Saran
            Kita tahu bahwa selama ini para peserta didik lebih dituntut untuk menguasai materi, alangkah lebih baiknya di dalam proses pembelajaran juga ditujukan kepada pembentukan moral, watak serta kepribadian peserta didik. Oleh sebab itu diperlukannya pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam pembentukan karakter atau perilaku peserta didik seperti Model Konsiderasi. Selain itu penulis juga mengakui masih adanya kekurangan dalam  penyusunan makalah ini. Maka dari itu diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan saran demi menyempurnakan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA
Agustianingsih, M. Y., D. Gunawati, dan Winarno. 2017.Pengaruh Model Pembelajaran Konsiderasi Terhadap Sikap Toleransi Siswa Pada Kompetensi Dasar Menghargai Keberagaman Suku, Agama, Ras, Dan Antargolongan Dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Educitizen. 2 (2) : 125 -139.
Armadani, L., I. W. Ardhana, I. N. S. Degeng, dan M. Effendi. 2017. Consideration Learning Model in Character Education. International Journal of Science and Research (IJSR). 6 (7) : 1585 -1591.
Aspin, D. N., J. D. Chapman. 2007. Values education and lifelong learning.Springer. Netherlands.
Asriati, N. 2012. Mengembangkan Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran Di Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora. 3 (2): 106 -119.
Guidance. 2004. Pedagogy and Practice: Teaching and Learning in Secondary Schools. Norwich : Departement for Education and Skills.
Himawan, P., dkk. 2018. Model Pembelajaran Sistem Perilaku. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Hoon C, Lee. 2010. An Appraisal On The Implementation Of Moral Education 
            For Schools In Malaysia
. Proceedings of The 4th International Conference
            on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI.
Joyce, B., dkk. 2015. Models Of Teaching. Cetakan Kesembilan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Kadir, F. 2015. Strategi Pembelajaran Afektif Untuk Investasi Pendidikan Masa Depan. Jurnal Al-Ta’dib. 8 (2) : 135 – 149.
Munawar, W. 2010. Pengembangan Model Pendidikan Afeksi Berorientasi Konsiderasi Untuk Membangun Karakter Siswa Yang Humanis Di Sekolah Menengah Kejuruan. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education. 338 -344.
Nathan and Robinson. 2001. Considerations of Learning and Learning Research: Revisiting the Media Effects Debate. Jl. of Interactive Learning Research 12(1), 69-88.
Parr dan Timperley. 2008. Teachers, schools and using evidence: Considerations of preparedness.Assessment in Education: Principles, Policy & Practice Vol. 15, No. 1. 57–71.
Pascal, rue André. 2009. Creating Effective Teaching and Learning Environments: First Results from TALIS. OECD. France.
Prianggita, V. A. 2016. Penerapan Model Konsiderasi Dan Pembentukan Rasional Dalam Pembelajaran. Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran.2 (1) : 72 -80.
Reading, C., J. Reid. 2004. Consideration of Variation: A Model for Curriculum Development. Curricular Development in Statistics Education. 36 – 53.
Rohman, A. 2013. Pembiasaan Sebagai Basis Penanaman Nilai-Nilai Akhlak Remaja. Jurnal Nadwa. 6 (1). 155 -177.
Rosidatun. 2018. Model Implementasi Pendidikan Karakter. Cetakan Pertama. Caramedia Communication. Gresik.
Salim Nur. 2010. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Konsiderasi Terhadap Sikap Tenggang Rasa. Efektor No 16. 51.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Edisi Pertama. Prenada Media Group. Jakarta.
Sanjaya, W., A. Budimanjaya. Paradigma Baru Mengajar. Edisi Pertama. Kencana. Jakarta.
Schroeder, R., E. S. Cahoy. 2010. Valuing Information Literacy: Affective Learning and the ACRL Standards. University Library. Baltimore.
Setiawan, Deny. 2013. Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan
Kecerdasan Moral. Jurnal Pendidikan Karakter. (1) : 53 -63.
Shwartz, S. S., S. B. David. 2014. Understanding Machine Learning: From Theory to Algorithms. Cambridge University Press. New York.
Soenarko, B., E. S. Mujiwati. 2015. Peningkatan Nilai Kepedulian Sosial Melalui Modifikasi Model Pembelajaran KonsiderasiPada Mahasiswa Tingkat I Program Studi Pgsd Fkip Universitas Nusantara Pgri Kediri. Jurnal Efektor. (26) : 33 – 47.
Wijayanti, A. Tri. 2013. Implementasi Pendekatan Values Clarivication Technique (VCT) dalam Pembelajaran IPS Sekolah Dasar. Jurnal ilmu-ilmu sosial. 10 (1) : 73.
Yulida, D., N. Warnandi, dan D. Kurniadi. 2017. Model Konsiderasi Untuk Melatih Keterampilan Sosial Anak Dengan Hambatan Emosi Dan Perilaku. JASSI_anakku. 18 (2) : 15 -21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Global Warming (Pemanasan Global)

Makalah Global Warming (Pemanasan Global) BAB 1 Pendahuluan A.      Latar Belakang Makalah Dalam beberapa tahun terakhir, isu pe...